Hari makin kalam, sang surya itu beristirahat
dalam peraduannya, cahayanya dihambat oleh awan gelap yang bergumpal-gumpal.
Malam itu, Bintang penuh dengan ketakutan karena kilat yang semakin sering
menyambar-nyambar dan hujan yang amat deras itu.
"Amak (ibu),
mengapa hujan diluar deras sekali?" tanya Bintang dengan ketakutan yang
tak menentu.
"Itu tandanya angkasa marah dengan kita,
mereka tak mau bersahabat dengan kita yang selalu merusak keelokan lingkungan,
tetapi jangan kau khawatir! Tuhan senantiasa menjaga hambaNya dalam setiap
takut yang tak menentu!" ucap ibunya sambil mencium kening Bintang.
"Awak (saya)
takut abah (ayah) kena sial, awak
takut abah celaka diluar sana!" kekhawatiran Bintang makin menjadi-jadi.
"Tuhan senantiasa akan menjaga abah,"
ucap ibunya sambil memeluk erat Bintang.
Hujan awet orang bilang. Sehari penuh dari malam
sampai pagi, awan masih menangis. Bumi tampak masih redup jika dilihat. Ia
memandang foto keluarganya yang harmonis itu. Benar kata orang, setiap keluarga
pasti memiliki konflik yang mengerikan sehingga tidak asing jika orang tua
bercerai bahkan meminta hak asuh anak. Itulah keluarganya saat ini, orang
tuanya bercerai, tetapi Bintang tiada tahu akan kebenaran itu. Ia percaya bahwa
ayahnya sedang kena sial (maksudnya kena sial yaitu pekerjaan sangat
menumpuk, kena banjir, ataupun kendaraan mogok) maka itu ia jarang pulang
ke rumah. Kasih sayang dari seorang anak itu kepada orang tunya tak terhitung
dalam numerik dan tak dapat dicari dengan rumus, tapi hanya bisa dirasakan
dengan keterbukaan hati.
Di pagi hari itu, ia merasa sesuatu yang berbeda
dari sebelumnya. Ciuman dari kedua orang tuanya, sekarang tinggal ibunya yang
setia menemani Bintang di setiap waktu.
"Meskipun abahmu tiada pulang semalaman itu,
jangan cemberutkan wajah kau yang elok itu, Bintangku! Melihat wajah kau ini terasa
seperti menanggung dosa berat sebagai amakmu (ibumu)," ucap ibunya dengan memeluk erat anaknya.
"Jangan khawatir ibuku, kemarin malam
tidurku tiada pulas, mimpi buruk menyerangku sampai penghabisan air mata,"
jelas Bintang kepada ibunya.
"Apa yang kau mimpikan, anakku? Sudahkah kau
berdoa kepada Tuhan mu?"
"Hm, tanyakan saja padaku nanti. Sepertinya
awak harus bergegas ke sekolah sekarang," jawab Bintang sambil memeluk
ibunya.
Bintang mengikuti pelajaran di sekolah dengan
baik. Ia aktif dalam bertanya dan menjawab di kelas, berbudi baik, selalu
membantu kawan-kawannya dalam pelajaran, dan kelakuannya yang sopan terhadap
guru. Bintang juga tiada pernah memamerkan harta orang tuanya yang dibilang
cukup banyak. Ayahnya merantau ke kota sebagi seorang pekerja di pertambangan
minyak dan ibunya seorang bidan di tanah Riau itu. Hatinya rendah nampak
benar-benar bahwa ia tiada pernah meninggikan hati. Ia disukai oleh semua guru
dan kawan-kawannya, ibarat tiada jalan bagi mereka untuk menaruh benci.
Di sekolah itupun, ia menemui seorang laki-laki
yang nampak kesepian, Surya namanya. Bintang berdiri persis di sebelah Surya
sambil menatap lautan biru di angkasa.
"Ada maksud apa kau disini?" tanya
Surya.
"Punya hak apa kau bertanya tentang
keberadaan aden (aku)? Apakah
melanggar hukum?" jawab Bintang yang tak mau kalah cakap.
"Kesepian? atau..?"
"Melihat eloknya lautan biru itu seperti
mengukir kembali kenangan romantis keluarga awak," potong Bintang saat
Surya bertanya. "Betapa mesranya awan dan mentari saling berdampingan, dan
dengan sombongnya mereka menampakan diri di lautan biru agar dilihat banyak
orang." lanjut ucap Bintang.
Surya mendengar ucapan Bintang yang menyayat
hatinya, ia kaget begitu menguasainya Bintang tentang hal itu. Surya pun hampir
sama dengan Bintang, keadaan keluarganya hampir persis tetapi keadaan
keluarganya mengubah Surya menjadi anak yang hampir tiada punya pendirian.
"Mengapa kau mau bercakap dengan aden (aku)?"
"Apa salahnya berbagi cerita dengan kawan
seperjuangan?"
"Kau menganggap den (aku) kawan kau? Yang benar saja?!" ucap Surya dengan kaget,
"seumur hidup awak tiada pernah berkawan dengan ratu perasa (wanita)!"
lanjut Surya lagi.
“Maka
awak akan menjadi kawan kau, akan baik jika kita sering bartukar cerita dengan sesama
nasib,” ucap Bintang sambil menepuk bahu Surya.
Itulah
awal ikatan persahabatan antara Bintang dan Surya. Saling mendukung adalah
prinsip mereka dalam berkawan. Tali persahabatan yang romantis itu nampak nyata
saat mereka saling bertukar cerita. Saat mereka itu tengah berjalan pulang usai
sekolah, Surya menjaga benar-benar diri kawannya. Kalau mereka ingin
menyeberang jalan, tiada lupa ia membimbing tangan Bintang, supaya tidak celaka.
“Tengok
benar-benar samping kanan kiri kau, agar jika menyeberang kau tak kena celaka!”
Surya selalu mengingatkan hal itu kepada kawannya, ibarat alarm yang selalu menyala jika Bintang tak mematuhi aturan
tersebut. Awan kembali gelap dan hujan kembali dicurahkan lebatnya. “Sekarang
baiklah kita pulang ke rumah kau, awan akan menangis dengan derasnya,” ucap
Surya sambil menarik tangan Bintang.
“Siapo
yang kau bawa ini, Bintang? Kawan kau? Tanya ibunya heran
“Ini
kawan ku, Mak. Surya namanya.”
“Malam
bundo, awak disini menemani Bintang dalam menyeberang jalan,” ucap Surya dengan
menyengir.
Mereka
pun tertawa bersama, lelucon Surya berhasil meluluhkan hati Bintang. Mereka
sudah seperti saudara kandung, adik dan akang rupanya. Mereka makan malam
bersama di rumah desa yang sederhana, kebersamaan mereka jauh lebih elok jika
dibandingkan dengan bentuk rumahnya.
“Ini
santapan sederhana ala amaknya Bintang, moga-moga kau puas menyantap ini,” ucap
ibunya Bintang sambil mengambilkan Surya makanan.
“Ah,
Bundo! rasa lapar tak perlu kenal selera makanan, langsung santap!” jawabnya
semangat.
Melihat
Surya, ibunya mengingat suaminya yang dulu selalu ada untuk menghibur hatinya
saat masih muda. Persis seperti Surya dan Bintang saat ini. Sejak remaja,
keduanya telah diikat tali persahabatan, lalu hubungan itu makin kukuh karena diantara
mereka timbul kasih sayang yang menyatukan mereka. Tetapi hubungan mereka pun
makin renggang akibat konflik yang mengerikan usai dikaruniai anak.
“Keluarga
kita kurang lengkap, kurang abah!” keluh Bintang saat makan.
“Ada
Surya yang menggantikan abah kau,” ucap ibunya sambil mengelus rambut Bintang.
Seusai
makan malam, Surya berkehendak untuk pulang ke rumahnya. Tetapi malam itu,
hujan belum berhenti benar-benar, ia nekat, lekaslah ia membuka payungnya dan
berlari secepat kilat. Di perjalanan, ia melihat seorang lelaki yang
berteduh dengan seorang wanita lain di sebuah warung, mirip dengan ayahnya
Bintang. Ia ingat jelas ciri-ciri yang digambarkan oleh ibunya Bintang.
“Permisi,
abahnya (ayahnya) Bintang kah?” tanya
Surya.
“Anak
siapa kau? Berani-beraninya campur tangan dengan keluarga saya!” bentak ayahnya
Bintang. “Lagipula, saya bukan abahnya lagi, ini istri baru saya,” sambil
menunjuk istri barunya yang terlihat lebih tua dibandingkan ayahnya Bintang.
“Bintang
mencari kau, kasih sayangnya kepada kau tak terhitung jumlahnya, lalu kau tega membuang Bintang?" bentak Surya dengan emosi.
"Dasar laki-laki tak sopan! Kalau kau anakku, kutampar kau! Bintang bukan anak kandung saya!" jelas sekali kata-kata itu menusuk Surya, bagaimana nasib kawannya itu jika mendengar ini semua?
Keesokan harinya, Surya sudah bersiap diri di depan halaman rumah Bintang untuk pergi ke sekolah bersama. Wajah riang dan pancaran sinar dari matanya begitu meluluhkan hati bagi orang yang melihatnya, tiada seorang pun yang tega membuat si periang itu meredupkan sinarnya kecuali abahnya itu. Mengingat hal itu, Surya menemui ibunya Bintang nanti seusai sekolah.
"Memangnya abah kau kemana?" tanya Surya kepada Bintang
"Abahku merantau ke kota untuk bekerja, kalau kau?"
"Awak tinggal bersama iniok (nenek) abah dan amak awak juga merantau ke kota," jelas Surya.
"Senasib benar kita ini, Sur.." canda Bintang dengan tertawa
Melihat tawa itu, semakin tidak tega Surya untuk memberitahu ayahnya sekarang.
"Yuk, lekas pulang, kemaslah barang-barang kau!" ajak Bintang
"Kali ini, awak antar kau pakai sepeda sajalah, butut tapi masih bisa dikendarai," ucap Surya sambil menyengir.
Sesampainya mereka di rumahnya Bintang, ibunya langsung menyuruh Bintang untuk tidur siang. Masuklah ia ke kamar dan menutup pintu kamarnya. Tepat di ruang tamu, Surya dan ibunya berbincang serius tentang hal kemarin.
"Bundo, abahnya Bintang berkata bahwa Bintang bukan anak asli abah? Benarkah ia?" tanya Surya.
"Benar kau, dulu saya dinikahkan oleh seorang lelaki oleh abah dan amak saya, setelah kami menikah, awak hamil, dan saat melahirkan Bintang, ia meninggal. Semenjak itu, awak menikah lagi dengan ia, dan ia tidak mo menerima kehadiran Bintang sebagai peranakan hasil mantan suami awak. Dia pun pernah menyebut awak pelacur" jelas ibunya Bintang.
Tanpa sengaja, Bintang mendengar pembicaraan mereka, gadis itu terkejut serta memandangi mereka dan berkata "jadi awak bukan anak abah?" air mata bercucuran dengan derasnya, sinarnya redup, tiada lagi cahaya kebahagiaan. Pucatlah mukanya, kalau tiada Surya yang menggangkatnya, ia sudah terbentuk lantai karena ia pingsan. Tubuhnya tiada bedanya dengan mayat, hanya hembusan nafas kecil yang menjadi tanda bahwa ia masih hidup.
Anak gadis itu membuka kelopak matanya yang pucat itu, dilihatnya ibunya menangis dan kawannya yang setia menemani Bintang. "Mengapa kau tega seperti itu, Mak? Awak ini anakmu," ucap Bintang sambil menahan air matanya. "Amak tiada tega melihat anaknya bersedih memikirkan abahmu.." ucap ibunya sambil mencium kening Bintang berkali-kali. "Janganlah kau khawatir, ada kawanmu disini," ucap Surya sambil memeluk Bintang.
Semenjak hari itu, Bintang tergolong anak yang pendiam bahkan ia tak seaktif dulu di sekolah, nilainya menurun tetapi masih tergolong anak pintar. Surya membimbing kawannya itu di setiap waktu, bahkan kawan-kawan juga guru-guru satu sekolahpun bertanya-tanya kepada Surya tentang kondisi Bintang yang memburuk.
"Tanyakan pada Bintang!" jawabnya tegas. "Ia mungkin takkan bisa menjelaskan, tapi mungkin syair ini bisa menggambarkan." Lanjut Surya sambil menunjukkan sebuah kertas berisi syair karya Bintang.
Sesak dan peluh di dada
Sesal dan lelah di hati
dan dendam yang semakin menggebu
Emosi berkoar dalam satu jiwa
Larut semua semangat hamba
Hati remuk dan hancur
Kau anggap amak pelacur
Seperti busuk hati kau
"Kau tahu, kau benar aku wanita perasa, mudah menyayangi seseorang, tapi baru kali ini awak menyayangi betul-betul lelaki macam kau, Surya." ucap Bintang sambil memeluk kawannya itu. Tanyalah pada Bintang nasibnya saat ini, tanyalah pada Bintang ikatan persahabatan mereka itu. Amak dan abahnya resmi bercerai melalui jalur hukum, tandanya Bintang resmi kehilangan ayahnya. Bintang tidak selalu bersinar di tengah malam, bahkan ia pun sering redup sampai orang bertanya-tanya 'mengapa Bintang di angkasa itu tidak memancarkan sinarnya?'
Seminggu setelah perceraian ibunya dan ayahnya, ibunya Bintang dipanggil Tuhan karena serangan jantung yang menimpanya. Kini Bintang tak punya siapapun, kini dia hanyalah gadis yatim piatu. "Tuhan, mengapa kau berikan hambaMu cobaan seberat ini?" tanya Bintang di depan batu nisan yang cantik milik ibunya itu. Surya memeluknya sebagai seorang sahabat senasib, bahkan layaknya abang dan adik. Ia menjaga betul-betul kawannya itu, "pukul awak jika kelak awak lupa dengan kau, Bintang!" perintah Surya sambil tertawa.
dan, Surya.. sinarnya yang berhasil menusuk hati Bintang dan menjalar ke pikirannya. Mereka saling mempercayai dan saling berkasih-kasihan. Walaupun dalam dunia astronomi, Surya & Bintang tak dapat bersatu tapi di kampung ini, Surya dan Bintang dipersatukan. Bagaimana nasibnya saat ini? Tanyakan pada Bintang!
Komentar
Posting Komentar