KAMU MENARIK, STOP MELIRIK
HIDUP ORANG LAIN
Problematika remaja jaman sekarang adalah minimnya
rasa memahami, menerima, dan menyayangi diri sendiri. Apalagi, remaja adalah
masa transisi antara sikap kekanak-kanakan menuju sikap pendewasaan, wajar apabila
pemikiran remaja terhadap lingkungan sekitar dan diri sendirinya masih ½ matang.
Ditambah lagi, biasanya pada usia remaja mulai ada perkembangan fisik dan
emosional, serta sering bersentuhan dengan lingkungan sosial di sekitarnya,
seperti di sekolah, keluarga, bahkan masyarakat. Remaja biasanya mulai memiliki
kecemasan atau kekhawatiran tertentu apabila mereka tidak mampu memenuhi
tuntutan sosial yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dipenuhi, misalnya seorang
remaja dituntut untuk memiliki bakat agar dapat ditampilkan di acara pentas
seni, maka respon yang biasanya dilakukan oleh remaja yang ‘merasa’ tidak
memiliki bakat apapun akan minder bahkan tidak percaya diri dengan saingannya.
Padahal, kemampuannya bisa diasah jika ia mau, niat, dan komitmen untuk
mengembangkannya. Biasanya hal ini memiliki korelasi dengan rasa minder atau
ketidakpercayaan diri terhadap potensi atau keunikan yang lahir dalam diri masing-masing.
Padahal, jika dipikir lebih jauh lagi, keunikan tiap orang menggambarkan suatu
ciri khas dari orang itu yang bahkan membuat orang itu tampak lebih menarik.
Perasaan minder, ketidakamanan terhadap diri sendiri karena merasa kurang dari
orang lain, rasa ketidakpercayaan diri, dan adanya sikap menolak atau membenci
diri sendiri karena beragam kekurangan bisa dikorelasikan dengan sikap insecurity/insecure.
Karakteristik dari rasa insecure yang dialami
oleh banyak orang adalah rasa kurangnya
penerimaan dalam diri sendiri, contohnya seorang remaja dilahirkan dengan warna
kulit sawo matang, namun karena kondisi lingkungannya seakan-akan memiliki
standar kecantikan bahwa ‘cantik’ hanya diperuntukkan bagi remaja berkulit putih,
sehingga ia tidak mampu menerima diri sendiri sebagai remaja berkulit sawo
matang. Padahal, faktanya tidak ada standar kecantikan berdasarkan warna
kulit seseorang. Rasa tidak ingin menerima kondisi tersebut akhirnya timbul
rasa tidak ingin memahami kondisi yang ada di dalam diri sendiri, entah itu kondisi
fisik ataupun kondisi mental. Rasa tidak memahami akhirnya merambat menjadi
rasa tidak ingin menerima, yaitu fase dimana orang ini mulai tidak bersyukur.
Sehingga, hal tersebut mendorong adanya sikap tidak ingin menyayangi diri
sendiri dan tidak mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya karena terlalu
terpatok dengan pandangan masyarakat terhadap sesuatu. Padahal, setiap orang
pasti memiliki keunikannya masing-masing yang mampu memikat banyak orang tanpa perlu
mengikutcampurkan pandangan orang lain.
Penyebab orang mulai insecure biasanya karena
terpatok oleh suatu pandangan masyarakat terhadap sesuatu, misalnya “untuk
menjadi orang sukses, minimal pendidikan adalah lulus S1.” Padahal, realita
sosialnya banyak orang sukses yang hanya lulusan SLTA/STM/SMK. Perkenalkan,
Andy F.Noya yang hanyalah lulusan STM, namun karena ia memiliki potensi di
bidang jurnalistik dan memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi itu,
sampai pada akhirnya ia mampu membuat acara TV, yaitu Kick Andy. Adanya
kebiasaan membanding-bandingkan kemampuan kita dengan orang lain juga mampu
meningkatkan rasa ketidakbersyukuran seseorang terhadap diri sendiri atau biasa
disebut dengan “saya ingin menjadi orang itu karena hidupnya lebih enak.” Padahal,
di dalam kehidupan terdapat roda kehidupan yang selalu berputar. Mungkin orang lain
yang dianggap ‘enak hidupnya’ telah berhasil melalui berbagai tantangan hingga
mampu sukses sampai sekarang. Dan perlu diketahui, bahwa kebahagiaan seseorang
harus sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak ada satupun orang yang 100%
mengalami rasa ‘nikmat’ dalam kehidupan.
Akibat dari insecure perlu diwaspadai. Dampaknya adalah munculnya rasa stress atau ketidakpercayaan diri secara berlebihan. Contoh kasus telah dilampirkan dari https://yoursay.suara.com/ mengenai kematian Sulli, ia merupakan aktris asal Korea Selatan yang merasa insecure atau minder karena hate comments oleh netizen mengenai dirinya. Apalagi, remaja cenderung rentan mengalami khawatir, cemas, dan takut tidak mampu memenuhi tuntutan atau ekpektasi sosial yang terlalu tinggi. Dari kasus dan pernyataan di atas, telah disimpulkan bawa solusi dari rasa insecure adalah belajar memahami diri sendiri. Maksudnya adalah memahami kekurangan, kelebihan, dan potensi yang dimiliki, bukan membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Seseorang akan menjadi orang sukses apabila ia mampu mengembangkan potensi yang ia miliki. Selain itu, mengapa harus memahami kekurangan diri sendiri? Karena dengan mengetahuinya, kita memiliki batasan tertentu untuk tidak terlalu berekspektasi terlalu tinggi terhadap diri sendiri. Misalnya, seorang remaja tidak tertarik dengan bidang kedokteran dan nilai biologi dan kimianya pun juga minimalis, namun karena menurut pandangan masyarakat bahwa profesi dokter adalah keren, maka itu ia memaksakan kemampuannya untuk menjadi seorang dokter, padahal ia sangat paham mengenai hukum, politik, pintar berdebat, dan tidak pasif pada realita sosial. Ditinjau dari kemampuannya, ia sangat mampu menjadi seorang pengacara. Namun, adanya patokan terhadap pandangan sosial membuat ia banting setir untuk menjadi seorang dokter demi gengsi. Dari situ, kita perlu mengenal diri sendiri dengan seutuhnya, memahami adanya kekuranga, serta bersyukur. Banyak hal yang telah didapatkan dan diterima, namun banyak remaja yang masih belum sadar untuk bersyukur atas kebahagiaan sederhana yang sudah diterima. Biasanya, adanya rasa ketidaksadaran ini dikarenakan bahwa seseorang terlalu sering menengok hidup orang lain dan mulai membanding-bandingkan, sehingga terobsesi untuk menjadi orang itu. Bersyukur adalah kunci utama agar remaja zaman sekarang mampu menyayangi diri sendiri. Self-love is important karena dengan memprioritaskan dan memikirkan hidup diri sendiri akan lebih banyak kedamaian dan ketenangan yang dirasakan, selain itu secara tidak langsung kita akan lebih merasakan rasa kebahagiaan yang diterima, serta adanya energi-energi positif yang mampu menggerakkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bahagia, dan sukses dalam kehidupan.
- Angelina Pavita Rara Kirana / Ilmu Komunikasi / FISIP / kel. Soekarno
Komentar
Posting Komentar